Berikut ini saya sajikan salah satu contoh cerita pendek (cerpen) berbahasa Indonesia yang dibuat oleh author sendiri. Mohon dimaklumi bila contoh yang diberikan tidak memuaskan dikarenakan cerpen ini dibuat sewaktu author mengerjakan tugas membuat cerpen sewaktu SMA. Silahkan dimanfaatkan dengan baik ya!
Mawar Terakhir
Rambutnya
terurai bak tirai gemerlap yang tertimpa sinar lemah sang Mentari. Matanya
menerawang jauh. Sejauh mata sanggup menembus rahasia kehidupan. Hatinya seperti
gersang di ladang, tak sanggup menumbuhkan benih-benih pengharapan. Tubuhnya
kaku, sekaku darah dalam daging yang membeku.
Daun-daun
telah berjatuhan dari tangkainya yang kering. Rumput-rumput enggan bergoyang. Beringin
dengan akar gantung yang menghujam, sudah tak sanggup menelan air. Jejeran
nisan yang rapi, butiran tanah merah yang menggunung, hamparan kamboja yang
layu, tak mampu lagi menahan gelar pemakaman untuk tempat itu. Jauh di ufuk
barat, jajaran pegunungan terlihat jelas, burung-burung terbang menjauh. Langit
mulai menguning. Mentari merangkak turun dari pangkuan hari. Bintang pertama
sudah menggantung.
Sosok
itu duduk termenung di sebuah bangku panjang yang rapuh. Samar-samar di temaram
senja, ia tak berkedip. Teringat peristiwa tujuh hari lalu...
***
Isak
tangis keluarga menghiasi pemakaman sore itu. Kerumunan berbaju hitam tak
kunjung berkurang. Semua insan terlihat bersedih. Pasang mata yang berbinar
enggan menahan gelinang air mata perpisahan. Gemulai taburan bunga tertiup
angin hampa, hadiah terakhir untuk sang mendiang.
Ia
mencengkram tanah dengan kuat. Tak rela jika nyawa mesti lepas dari raga. Pipinya
yang basah menuntut jiwa yang kekal. Hasrat yang menggores sampai ke dalam
hati, kini menghantui.
Ia
menggenggam tanah merah sambil terisak. Berharap seberkas cahaya ilahi
menghampiri. Tak peduli harapnya terlalu besar, tak peduli inginnya terlalu
kasar. Hati yang masih selembut salju, tak ingin hidup sendiri.
Umurnya
baru enam tahun saat ibunya pergi ke dunia seberang. Usia yang sangat rapuh
bagi anak kecil yang hanya bisa bermain. Ayahnya yang dicerai mati hanya bisa
menahan beban. Ia yang menemani anak kecil itu hingga ia dapat menggores pena
pada kertas tipis seputih salju. Ia yang membimbing anak kecil itu hingga ia
dapat membedakan arti sesal dan bahagia. Ia yang menuntun anak kecil itu sampai
ia dewasa. Hingga ia mengetahui, siapa jati dirinya yang sebenarnya.
Kini,
setelah anak kecil itu dewasa. Ia harus menerjang badai yang menggila. Ia harus
berjalan terseret-seret tanpa arah dan tujuan. Ia tak tau kepada siapa ia akan
bertanya. Hidup memang pahit, sepahit buah
mahuni yang baru jatuh dari pohonnya. Ia memang tak rela jika Tuhan
mengubah nasibnya begitu cepat, ia tak ingin jalan titiannya menjadi curam. Bak
mencari kutu dalam ijuk, semuanya menjadi mustahil.
“Ayah... Engkau adalah satu-satunya permata
dalam hati kecilku.”
Air
matanya semakin mengucur deras.Pria yang ia tangisi, pria yang ia sesali, pria yang
sekarang terkubur dalam-dalam, adalah ayahnya. Ia adalah satu-satunya orang
yang berarti dalam catatan sejarahnya. Ia adalah satu-satunya orang yang
mengerti siapa dirinya.
Isaknya
kembali terdengar. Ia menggenggam bunga-bunga kematian itu dengan lembut,
membiarkan goresan kenangan terukir di dalamnya. Ia tak sanggup memandang
tambahan gelar di atas nisan ayahnya, kumpulan abjad yang memberitakan sesuatu,
‘Almarhum’
“Ayah, engkau telah memberiku nama yang
indah..” ia tersenyum, senyum yang untuk pertama kalinya membuat dunia
gembira, pipinya merona, “Nah, sekarang
nama ayah sudah bertambah, nama ayah sekarang Al-,” ucapannya terhenti, ia
kembali terisak, tangisnya berlanjut. Air mata yang kering, sekarang tak
terbendung. Ia menundukkan kepala mencoba menghapus tiap-tiap kilasan raut
wajah ayahnya yang bersinar. Tapi tetap, ia tidak akan bisa.
“Mikayla
sayang, sudah..”tiba-tiba sepasang tangan lembut mengelus rambutnya yang
terurai, “Ayah tidak mau melihatmu bersedih seperti ini.. Biarkan ayahmu
tenang, biarkan ayahmu tersenyum, ndoro..” bisik suara lemah yang tak lain
adalah bibi Mikayla, satu-satunya saudara ibu Mikayla yang masih hidup.
Ayla
terdiam, pikirannya sangat kacau, otaknya telah lemah, tubuhnya sudah lelah. Ia
tak mampu mengakatakan apapun, walau hanya dengan gumaman.
Tiba-tiba
ia merasakan tubuhnya terengkuh. Sepasang tangan kasar dan keras telah
menariknya ke belakang. Dadanya tersentak, hati kecilnya terlonjak, ia
terhempas pada tanah yang basah, suara keras mendengung di telinganya yang
peka.
“Ayahmu tak ingin ditangisi, Ayla. Kita hanya
bisa berdoa.” ucap pamannya dengan nada tegas.
Mikayla
tertunduk, ia merasa bersalah. Setidaknya ucapan pamannya memang benar. Ia
seharusnya berdoa, bukan menangis hingga air matanya berganti dengan darah.
Seolah-olah baru tersadar, ia berbalik. Ia melihat pamannya dengan wajah geram
memberikan isyarat untuk pulang. Ia menahan sedikit demi sedikit isaknya, lalu
beranjak. Pemakaman umum benar-benar sudah sepi. Kerumunan berbaju hitam sejak
tadi sudah surut. Tanah merah yang basah sudah mulai kering. Ia menyusuri
rumput-rumput kering itu dengan langkahnya yang layu, mengikuti tiap jejak
paman dan bibinya yang berbekas, syarafnya menggeram, ia berjanji tak akan menjalani sisa hari ini
dengan sungguh-sungguh.
***
Dua hari berikutnya, Mikayla selalu pergi ke
pemakaman ayahnya. Ia tak pernah lupa untuk menjenguk ayah di kediaman
terakhirnya. Setiap pagi dan sore, di saat mentari menyapa dengan sinarnya yang
hangat dan di saat senja menyongsongnya dengan berkas-berkas sinar jingga. Ia
menaburkan bunga-bunga segar, memercikkan air yang berkilauan, dan membawakan
doa-doa yang beralamatkan langsung ke mana ayahnya berada.
“Ayah... Ayah jangan pernah merasa kesepian..
Mikayla akan selalu ada di sini, Mikayla kemari dua kali. Jangan takut ayah,
pagi akan segera menjelang, lewati hari ini dengan tenang” Mikayla kembali
menangis, tangisnya dalam kegelapan tak terdengar. Hari hampir malam, ia masih
di sana. Burung hantu bermata lebar ber-uhu-uhu lemah, kelelawar menyelinap
dari dedaunan. Bintang dan bulan mulai memperlihatkan terangnya.
***
Sore
itu, pada hari ketiga setelah pemakaman, di saat angin dingin bertiup pada
ubun-ubun, saat bayang-bayang menjadi semakin panjang, saat sinar-sinar tak
kembali memantul. Berdua bersama siluet dirinya yang keabuan. Mikayla kembali
mengunjungi makam itu. Aroma tanah yang kering, dan nisan yang berlumut, tak
akan pernah bisa membuat jiwanya ciut. Mikayla, anak tunggal yang ditinggal
sendiri, sekarang berdiri, menaburkan bunga-bunga beraroma sayu, bersisakan
tangkai pengharapan, lemas dan lunglai terkena tanah merah yang lembap. Matanya
berair, pipinya basah. Raut duka ayah harus ditanggungnya sendiri. Haruskah
terfikir olehnya, dengan mukjizat sang ilahi, ayahnya akan hidup kembali. Ia
duduk bersimpuh, di samping makam ayahnya yang semakin rendah tererosi air dan udara
dingin yang bertiup lemah. Ia menunduk, merenung sejenak. Bulir air mata
kesedihan yang mendalam menetes pada pakaiannya yang kering, tak sempat
mengalir namun terserap.
“Ya Tuhan.. Ampuni dosa ayahku, dan dosa
ibuku. Jangan salahkan dia karena dia tak sempat temani aku, sehingga aku
benar-benar mampu jalani hidup. Jangan salahkan dia karena membiarkan aku
menangis. Biarkan karangan bunga ini hidup sebagai jelmaan balas budiku
padanya.. Demi dunia, aku tak akan pernah bisa membalasnya...”
Ia
kembali terisak, air mata yang bergulir setiap kata yang diucapkannya adalah
emosi yang menusuk. Tangis yang tak terbendung membuat mata ini menjadi samar.
Diri ini tak mampu menahan rasa untuk jangka waktu yang lama. Mikayla
memutuskan untuk kembali, tinggal di tempat yang hangat tanpa ayah. Di mana pun
ia berada ia akan tetap sengsara, pikirnya. Ia beranjak, mengambil keranjang
bunga yang kosong, dan mengusap kedua
matanya yang bengkak. Ia melihat setangkai mawar putih yang disampul rapi
tergeletak begitu saja di atas makam ayahnya. Tak terlihat olehnya, tak pula ia
sadari sejak tadi. Ia memungutnya dengan sebelah tangan, mengamatinya dengan
rasa penasaran yang menggebu.
“Untuk Mikayla”
Ia
membaca tulisan pada secarik kertas kecil yang menggantung kaku pada mawar itu.
Angannya melayang, jiwa dan akal seakan tidak percaya. Ia kembali memandang
tulisan tangan rapi yang tertera di sana, masih sama. Mikayla kebingungan, ia
merasa takut, pikiran negatif menghantui benaknya. Harapan dari hati kecilnya
terasa ganjal. Benarkah mawar ini adalah
titipan ayahnya yang sedang berada di alam sana? Akankah mawar ini berasal dari
hantu yang ingin mengelabuhinya? Akankah mawar ini berasal dari ayahnya?
Akankan tulisan ini tulisan ayahnya? Benarkah mawar ini dari ayahnya yang
tercinta? Ia tersenyum, ia mencoba mempertahankan harapan dalam dari hati
kecilnya. Ia membiarkan pertanyaan itu menyerbu walau terasa sangat berbeda. Ia
melangkah, membiarkan mawar putih yang tersampul rapi itu erat dalam
pelukannya. Hasrat telah merelakan Mikayla untuk mengingat aroma mawar putih
sebagai anugerah ayahnya. Isaknya satu dua kali masih terdengar. Harapan kecil
yang menjadi nyata, kini akan menjadi satu-satunya hal untuk ditangisi di
dunia.
Tiga
hari berikutnya, setiap ia berkunjung ke makam, ia selalu mendapati mawar putih
yang sama tergeletak dihadapannya. Mawar dengan aroma yang sama, rasa yang
sama, dan perasaan yang sama saat dia mengenang ayahnya. Mawar itu adalah
satu-satunya alasan ia menanti. Menanti setiap detik waktu berjalan, setiap detik
waktu terlewat, setiap detik waktu tersisa untuk menuju hari berikutnya. Mawar
putih itu meyakinkan Mikayla, bahwa setiap penantian panjang dalam hidupnya,
tak akan pernah sia-sia. Mawar putih itu juga meyakinkan batin Mikayla, bahwa
ayahnya memang mengerti suasana hatinya.
Beberapa saat kemudian, Mikayla termenung. Ia
duduk di sebuah bangku panjang yang rapuh dan berdebu tak jauh dari makam
ayahnya. Ia mengingat kembali langkah-langkah yang telah diambil minggu-minggu
ini, langkah yang mantap ia pijaki,
langkah yang terpaksa ia lalui, dan langkah dalam diam. Ia masih memegangi
mawar ketiga yang didapatkannya. Diletakkannya mawar itu disampingnya, lalu ia
terpikir. Tak seharusnya dia menggunakan imajinasinya terlalu banyak,
logika-nya terbuka. Mustahil jika arwah ayahnya yang meletakkan mawar putih itu
untuknya. Hanya manusia dan makhluk hidup-lah yang nyata, sementara ayahnya
bukan hal yang nyata lagi. Mikayla juga tak dapat menangkap tanda-tanda
pengunjung lain selain dirinya. Hal itu tidak memungkinkan ia dapat mengetahui
pengirim mawar itu dengan segera, lalu ia pun bertanya pada penjaga makam.
“Hhmm,
bang. Abang pernah tidak lihat orang lain selain saya yang-eh-anu..” isaknya
terdengar, ia mencoba untuk tidak terlihat menangis. Ia menunduk, mengambil
nafas panjang, dan memulai kalimatnya dengan kalimat bernada rendah, “orang
selain saya yang mengunjungi makam ayah saya?” Mikayla merasa sedikit aneh
menyebut kata ‘ayah’, sepertinya trauma yang mendalam masih menyelimuti dirinya.
“Makam
yang mana neng?” tanya penjaga makam itu penasaran
“Yang
itu..” tunjuk Mikayla tanpa ragu, ia menunduk sedikit, takut matanya yang
lembam terlihat oleh penjaga makam itu.
“Oh,
itu neng.. Setau saya Cuma neng sendiri yang sering ke sini..” balas penjaga
kuburan itu dengan sopan. Ia tersenyum kemudian memperhatikan Mikayla yang
mulai bertingkah aneh.
“Beneran
bang?” tanya Mikayla tak percaya, hati kecilnya merasa kegirangan
“Iya,
saya sering keliling di sekitar sini kok neng, abang yakin”
“Terimakasih
bang kalau begitu” Mikayla menjawab dengan sopan. Ia tersenyum, matanya
berkaca-kaca, senyumannya yang manis sangat sesuai dengan pipnya yang merah
merona. Hanya saja pipinya yang basah menandakan seharusnya ia tak bersedih.
Dalam
perjalanan pulang, Mikayla selalu dibayang-bayangi oleh kehadiran mawar putih
itu. Siapa gerangan yang sudi mengirim sekuntum bunga mawar kepada anak yatim
piatu yang tak terpandang ini? Siapa pula yang tak menuliskan nama hingga
merasa dirinya tak perlu diketahui?
Setibanya
di depan gerbang rumah, pikiran Mikayla terhenti. Mengapa ia tak membalas budi
kepada sang pengirim. Mengapa ia harus pikir panjang, sementara pengirim bunga
mawar pastilah berkunjung ke makam ayahnya, meletakkan bunga itu di sana, lalu
menghilang. Itu jawabannya. Ia harus ke makam itu lebih awal.
Keesokan
harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke makam. Ia menggenggam senter di tangannya
dan mengarahkan cahaya ke jalanan setapak pekuburan itu. Tak ada rasa takut,
rasa itu
telah diselimuti oleh rasa penasaran yang menggebu. Ia berjalan menuju
makam ayahnya, berhasil, belum ada bunga mawar di sana. Fakta bahwa belum satu
orang pun yang menginjakkan kaki di makam sepagi itu. Agar tidak membatalkan
niat sang pengirim mawar, Mikayla duduk di kursi panjang, tak jauh dari makam
ayahnya. Sambil menunggu, ia mengeluarkan mawar ungu dari dalam tasnya dan
sepucuk surat untuk sang pengirim. Sambil tersenyum, ia terus menunggu. Fajar pun
terbit, ia masih menunggu.
Mentari
bergerak dengan cepat, hari sudah hampir sore. Berkali-kali ia melihat ke makam
ayahnya, ke sekitar, tapi hasilnya nihil. Sudah putuslah harapan Mikayla, si
pengirin tak kunjung datang, mawar di pangkuannya sudah mulai layu, semangatnya
telah pudar.
Tiba-tiba
saja terdengar suara tapak kaki yang semakin lama semakin dekat, semakin jelas,
suara yang untuk pertama kalinya membuat Mikayla takut. Semakin dekat.. semakin
dekat... Gerombolan berbaju hitam pun terlihat, di arak-arakan depan terlihat
enam orang sedang menggotong keranda ke arahnya, Mikayla menepi, memberi ruang
untuk mereka. Ada rasa khawatir dalam benaknya. Setiap detak jantungnya
diiringi kilasan rasa ketakutan. Ia melihat lebih dekat, mengikuti tiap langkah
mereka berjalan. Suara alas kaki yang tergesa-gesa, bergesekan dengan rumput
keras yang kering menghasilkan melodi alam yang indah. Mereka hanya orang
biasa, kekhawatiran Mikayla meredup. Ia mengikuti kemana arah gerombolan ini
berjalan.
Gerombolan
berbaju hitam itu berhenti di sebuah pemakaman yang tak asing bagi Mikayla,
makam ayahnya. Sedari tadi ternyata Mikayla tidak memperhatikan, ternyata ada
sebuah lubang persegi panjang terletak di sebelah makam ayahnya. Rasa
keingintahuannya membara, dengan sabar dan hati-hati, ia terus mengikuti proses
pemakaman yang berlangsung.
Tak
lama kemudian, kerumunan mulai bubar. Tak ada satu pun dari mereka yang
terisak, menangis. Sepertinya dia adalah orang yang tidak diharapkan, orang
ini. Sampai akhirnya, hanya Mikayla-lah yang tersisa. Ia mendekat, mencoba
menggapai batu nisan indah yang masih rapuh di makam baru itu. Ia ingin
mengenali sosok yang terkubur dalam gundukan tanah merah kering. Ia tercengang,
di atas batu nisan itu tertulis.
Di sini terukir kata hati
Dari sang pengirim Mawar Putih
untuk
Mikayla tersayang
Tetaplah tersenyum di saat hidup
mencabikmu dengan keras
Aroma mawar putih yang sama
Rasa yang sama
Tangan menulis di atas kertas
seputih salju
Mikayla
tertegun, ia membaca tulisan di atas nisan itu berkali-kali. Ia merasa kesal
pada dirinya, kepalanya panas, ia tak dapat mencerna kalimat yang terukir yang
di sana. Yang ia tahu hanya namanya terukir indah di sana, apakah ia yang
dimaksud, apakah ada orang lain di sekitar sini yang bernama sama dengannya.
Sepasang
tangan kaku mengelus pundaknya. Suara parau yang pernah dikenalnya berkata
dengan lirih, “Dia Susanto, kakakmu sendiri Mikayla, ia tak sempat bertemu kamu
karena ayahmu. Ayahmu tak pernah mengizinkan Susanto tinggal dengan mu,” sosok
itu duduk, ia menatap Mikayla dengan tatapan yang berbeda, tatapan yang untuk
pertama kalinya membuat Mikayla merasa sejuk. Ia adalah penjaga kuburan yang
pernah Mikayla temui, “ia tak pernah mengakui Susanto sebagai anaknya. Susanto
memang bukan anaknya, tapi Susanto adalah saudara tirimu, Mikayla. Ayahmu tidak
menerimanya karena ia berbeda, Susanto terkena leukimia-“ penjaga kuburan itu
terisak “-saya yang merawatnya setelah ibumu meninggal”
“Lalu
kenapa anda berbohong?” Mikayla mulai lagi, emosinya memuncak. Amarahnya
membara, “Kenapa anda berbohong pada saya saat saya menanyakan anda yang
sebenarnya? Apa yang terjadi?” nada bicara Mikayla meninggi ia tak habis pikir
semuanya akan jadi begini.
“Dengar,
Mikayla. Saya tidak bermaksud membohongi kamu. Itu semua keinginan Susanto, apa
yang saya lakukan adalah pilihan. Dan pilihan itu adalah permintaan Susanto
yang terakhir, maaf Mikayla, saya tidak bermaksud untuk melakukan itu” intonasi
bicaranya menjadi penuh sesal, matanya berair, “ia menitipkanmu ini” penjaga
kuburan itu menyerahkan sepucuk surat dan sekuntum bunga mawar putih.
Mikayla
membacanya, tangisnya meledak. Orang ini adalah kakaknya. Tulisan di atas nisan ini untuknya. Dan mawar ini
adalah mawar terakhir yang dapat diberikan kakaknya, untuknya.
***