Tampilkan postingan dengan label Karya Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karya Sastra. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 Agustus 2018

Contoh Cerita Pendek (Cerpen) Bahasa Indonesia



Berikut ini saya sajikan salah satu contoh cerita pendek (cerpen) berbahasa Indonesia yang dibuat oleh author sendiri. Mohon dimaklumi bila contoh yang diberikan tidak memuaskan dikarenakan cerpen ini dibuat sewaktu author mengerjakan tugas membuat cerpen sewaktu SMA. Silahkan dimanfaatkan dengan baik ya!

Mawar Terakhir

 

Rambutnya terurai bak tirai gemerlap yang tertimpa sinar lemah sang Mentari. Matanya menerawang jauh. Sejauh mata sanggup menembus rahasia kehidupan. Hatinya seperti gersang di ladang, tak sanggup menumbuhkan benih-benih pengharapan. Tubuhnya kaku, sekaku darah dalam daging yang membeku.
Daun-daun telah berjatuhan dari tangkainya yang kering. Rumput-rumput enggan bergoyang. Beringin dengan akar gantung yang menghujam, sudah tak sanggup menelan air. Jejeran nisan yang rapi, butiran tanah merah yang menggunung, hamparan kamboja yang layu, tak mampu lagi menahan gelar pemakaman untuk tempat itu. Jauh di ufuk barat, jajaran pegunungan terlihat jelas, burung-burung terbang menjauh. Langit mulai menguning. Mentari merangkak turun dari pangkuan hari. Bintang pertama sudah menggantung.
Sosok itu duduk termenung di sebuah bangku panjang yang rapuh. Samar-samar di temaram senja, ia tak berkedip. Teringat peristiwa tujuh hari lalu...

***

Isak tangis keluarga menghiasi pemakaman sore itu. Kerumunan berbaju hitam tak kunjung berkurang. Semua insan terlihat bersedih. Pasang mata yang berbinar enggan menahan gelinang air mata perpisahan. Gemulai taburan bunga tertiup angin hampa, hadiah terakhir untuk sang mendiang.
Ia mencengkram tanah dengan kuat. Tak rela jika nyawa mesti lepas dari raga. Pipinya yang basah menuntut jiwa yang kekal. Hasrat yang menggores sampai ke dalam hati, kini menghantui.
Ia menggenggam tanah merah sambil terisak. Berharap seberkas cahaya ilahi menghampiri. Tak peduli harapnya terlalu besar, tak peduli inginnya terlalu kasar. Hati yang masih selembut salju, tak ingin hidup sendiri.
Umurnya baru enam tahun saat ibunya pergi ke dunia seberang. Usia yang sangat rapuh bagi anak kecil yang hanya bisa bermain. Ayahnya yang dicerai mati hanya bisa menahan beban. Ia yang menemani anak kecil itu hingga ia dapat menggores pena pada kertas tipis seputih salju. Ia yang membimbing anak kecil itu hingga ia dapat membedakan arti sesal dan bahagia. Ia yang menuntun anak kecil itu sampai ia dewasa. Hingga ia mengetahui, siapa jati dirinya yang sebenarnya.
Kini, setelah anak kecil itu dewasa. Ia harus menerjang badai yang menggila. Ia harus berjalan terseret-seret tanpa arah dan tujuan. Ia tak tau kepada siapa ia akan bertanya. Hidup memang pahit, sepahit buah  mahuni yang baru jatuh dari pohonnya. Ia memang tak rela jika Tuhan mengubah nasibnya begitu cepat, ia tak ingin jalan titiannya menjadi curam. Bak mencari kutu dalam ijuk, semuanya menjadi mustahil.
Ayah... Engkau adalah satu-satunya permata dalam hati kecilku.”
Air matanya semakin mengucur deras.Pria yang ia tangisi, pria yang ia sesali, pria yang sekarang terkubur dalam-dalam, adalah ayahnya. Ia adalah satu-satunya orang yang berarti dalam catatan sejarahnya. Ia adalah satu-satunya orang yang mengerti siapa dirinya.
Isaknya kembali terdengar. Ia menggenggam bunga-bunga kematian itu dengan lembut, membiarkan goresan kenangan terukir di dalamnya. Ia tak sanggup memandang tambahan gelar di atas nisan ayahnya, kumpulan abjad yang memberitakan sesuatu, ‘Almarhum’
Ayah, engkau telah memberiku nama yang indah..” ia tersenyum, senyum yang untuk pertama kalinya membuat dunia gembira, pipinya merona, “Nah, sekarang nama ayah sudah bertambah, nama ayah sekarang Al-,” ucapannya terhenti, ia kembali terisak, tangisnya berlanjut. Air mata yang kering, sekarang tak terbendung. Ia menundukkan kepala mencoba menghapus tiap-tiap kilasan raut wajah ayahnya yang bersinar. Tapi tetap, ia tidak akan bisa.
“Mikayla sayang, sudah..”tiba-tiba sepasang tangan lembut mengelus rambutnya yang terurai, “Ayah tidak mau melihatmu bersedih seperti ini.. Biarkan ayahmu tenang, biarkan ayahmu tersenyum, ndoro..” bisik suara lemah yang tak lain adalah bibi Mikayla, satu-satunya saudara ibu Mikayla yang masih hidup.
Ayla terdiam, pikirannya sangat kacau, otaknya telah lemah, tubuhnya sudah lelah. Ia tak mampu mengakatakan apapun, walau hanya dengan gumaman.
Tiba-tiba ia merasakan tubuhnya terengkuh. Sepasang tangan kasar dan keras telah menariknya ke belakang. Dadanya tersentak, hati kecilnya terlonjak, ia terhempas pada tanah yang basah, suara keras mendengung di telinganya yang peka.
 “Ayahmu tak ingin ditangisi, Ayla. Kita hanya bisa berdoa.” ucap pamannya dengan nada tegas.
Mikayla tertunduk, ia merasa bersalah. Setidaknya ucapan pamannya memang benar. Ia seharusnya berdoa, bukan menangis hingga air matanya berganti dengan darah. Seolah-olah baru tersadar, ia berbalik. Ia melihat pamannya dengan wajah geram memberikan isyarat untuk pulang. Ia menahan sedikit demi sedikit isaknya, lalu beranjak. Pemakaman umum benar-benar sudah sepi. Kerumunan berbaju hitam sejak tadi sudah surut. Tanah merah yang basah sudah mulai kering. Ia menyusuri rumput-rumput kering itu dengan langkahnya yang layu, mengikuti tiap jejak paman dan bibinya yang berbekas, syarafnya menggeram, ia  berjanji tak akan menjalani sisa hari ini dengan sungguh-sungguh.

***

Dua hari berikutnya, Mikayla selalu pergi ke pemakaman ayahnya. Ia tak pernah lupa untuk menjenguk ayah di kediaman terakhirnya. Setiap pagi dan sore, di saat mentari menyapa dengan sinarnya yang hangat dan di saat senja menyongsongnya dengan berkas-berkas sinar jingga. Ia menaburkan bunga-bunga segar, memercikkan air yang berkilauan, dan membawakan doa-doa yang beralamatkan langsung ke mana ayahnya berada.
“Ayah... Ayah jangan pernah merasa kesepian.. Mikayla akan selalu ada di sini, Mikayla kemari dua kali. Jangan takut ayah, pagi akan segera menjelang, lewati hari ini dengan tenang” Mikayla kembali menangis, tangisnya dalam kegelapan tak terdengar. Hari hampir malam, ia masih di sana. Burung hantu bermata lebar ber-uhu-uhu lemah, kelelawar menyelinap dari dedaunan. Bintang dan bulan mulai memperlihatkan terangnya.

***

Sore itu, pada hari ketiga setelah pemakaman, di saat angin dingin bertiup pada ubun-ubun, saat bayang-bayang menjadi semakin panjang, saat sinar-sinar tak kembali memantul. Berdua bersama siluet dirinya yang keabuan. Mikayla kembali mengunjungi makam itu. Aroma tanah yang kering, dan nisan yang berlumut, tak akan pernah bisa membuat jiwanya ciut. Mikayla, anak tunggal yang ditinggal sendiri, sekarang berdiri, menaburkan bunga-bunga beraroma sayu, bersisakan tangkai pengharapan, lemas dan lunglai terkena tanah merah yang lembap. Matanya berair, pipinya basah. Raut duka ayah harus ditanggungnya sendiri. Haruskah terfikir olehnya, dengan mukjizat sang ilahi, ayahnya akan hidup kembali. Ia duduk bersimpuh, di samping makam ayahnya yang semakin rendah tererosi air dan udara dingin yang bertiup lemah. Ia menunduk, merenung sejenak. Bulir air mata kesedihan yang mendalam menetes pada pakaiannya yang kering, tak sempat mengalir namun terserap.
Ya Tuhan.. Ampuni dosa ayahku, dan dosa ibuku. Jangan salahkan dia karena dia tak sempat temani aku, sehingga aku benar-benar mampu jalani hidup. Jangan salahkan dia karena membiarkan aku menangis. Biarkan karangan bunga ini hidup sebagai jelmaan balas budiku padanya.. Demi dunia, aku tak akan pernah bisa membalasnya...”
Ia kembali terisak, air mata yang bergulir setiap kata yang diucapkannya adalah emosi yang menusuk. Tangis yang tak terbendung membuat mata ini menjadi samar. Diri ini tak mampu menahan rasa untuk jangka waktu yang lama. Mikayla memutuskan untuk kembali, tinggal di tempat yang hangat tanpa ayah. Di mana pun ia berada ia akan tetap sengsara, pikirnya. Ia beranjak, mengambil keranjang bunga yang kosong,  dan mengusap kedua matanya yang bengkak. Ia melihat setangkai mawar putih yang disampul rapi tergeletak begitu saja di atas makam ayahnya. Tak terlihat olehnya, tak pula ia sadari sejak tadi. Ia memungutnya dengan sebelah tangan, mengamatinya dengan rasa penasaran yang menggebu.
Untuk Mikayla
Ia membaca tulisan pada secarik kertas kecil yang menggantung kaku pada mawar itu. Angannya melayang, jiwa dan akal seakan tidak percaya. Ia kembali memandang tulisan tangan rapi yang tertera di sana, masih sama. Mikayla kebingungan, ia merasa takut, pikiran negatif menghantui benaknya. Harapan dari hati kecilnya terasa ganjal. Benarkah mawar ini adalah titipan ayahnya yang sedang berada di alam sana? Akankah mawar ini berasal dari hantu yang ingin mengelabuhinya? Akankah mawar ini berasal dari ayahnya? Akankan tulisan ini tulisan ayahnya? Benarkah mawar ini dari ayahnya yang tercinta? Ia tersenyum, ia mencoba mempertahankan harapan dalam dari hati kecilnya. Ia membiarkan pertanyaan itu menyerbu walau terasa sangat berbeda. Ia melangkah, membiarkan mawar putih yang tersampul rapi itu erat dalam pelukannya. Hasrat telah merelakan Mikayla untuk mengingat aroma mawar putih sebagai anugerah ayahnya. Isaknya satu dua kali masih terdengar. Harapan kecil yang menjadi nyata, kini akan menjadi satu-satunya hal untuk ditangisi di dunia.
Tiga hari berikutnya, setiap ia berkunjung ke makam, ia selalu mendapati mawar putih yang sama tergeletak dihadapannya. Mawar dengan aroma yang sama, rasa yang sama, dan perasaan yang sama saat dia mengenang ayahnya. Mawar itu adalah satu-satunya alasan ia menanti. Menanti setiap detik waktu berjalan, setiap detik waktu terlewat, setiap detik waktu tersisa untuk menuju hari berikutnya. Mawar putih itu meyakinkan Mikayla, bahwa setiap penantian panjang dalam hidupnya, tak akan pernah sia-sia. Mawar putih itu juga meyakinkan batin Mikayla, bahwa ayahnya memang mengerti suasana hatinya.
Beberapa saat kemudian, Mikayla termenung. Ia duduk di sebuah bangku panjang yang rapuh dan berdebu tak jauh dari makam ayahnya. Ia mengingat kembali langkah-langkah yang telah diambil minggu-minggu ini, langkah yang mantap  ia pijaki, langkah yang terpaksa ia lalui, dan langkah dalam diam. Ia masih memegangi mawar ketiga yang didapatkannya. Diletakkannya mawar itu disampingnya, lalu ia terpikir. Tak seharusnya dia menggunakan imajinasinya terlalu banyak, logika-nya terbuka. Mustahil jika arwah ayahnya yang meletakkan mawar putih itu untuknya. Hanya manusia dan makhluk hidup-lah yang nyata, sementara ayahnya bukan hal yang nyata lagi. Mikayla juga tak dapat menangkap tanda-tanda pengunjung lain selain dirinya. Hal itu tidak memungkinkan ia dapat mengetahui pengirim mawar itu dengan segera, lalu ia pun bertanya pada penjaga makam.
“Hhmm, bang. Abang pernah tidak lihat orang lain selain saya yang-eh-anu..” isaknya terdengar, ia mencoba untuk tidak terlihat menangis. Ia menunduk, mengambil nafas panjang, dan memulai kalimatnya dengan kalimat bernada rendah, “orang selain saya yang mengunjungi makam ayah saya?” Mikayla merasa sedikit aneh menyebut kata ‘ayah’, sepertinya trauma yang mendalam masih menyelimuti dirinya.
“Makam yang mana neng?” tanya penjaga makam itu penasaran
“Yang itu..” tunjuk Mikayla tanpa ragu, ia menunduk sedikit, takut matanya yang lembam terlihat oleh penjaga makam itu.
“Oh, itu neng.. Setau saya Cuma neng sendiri yang sering ke sini..” balas penjaga kuburan itu dengan sopan. Ia tersenyum kemudian memperhatikan Mikayla yang mulai bertingkah aneh.
“Beneran bang?” tanya Mikayla tak percaya, hati kecilnya merasa kegirangan
“Iya, saya sering keliling di sekitar sini kok neng, abang yakin”
“Terimakasih bang kalau begitu” Mikayla menjawab dengan sopan. Ia tersenyum, matanya berkaca-kaca, senyumannya yang manis sangat sesuai dengan pipnya yang merah merona. Hanya saja pipinya yang basah menandakan seharusnya ia tak bersedih.
Dalam perjalanan pulang, Mikayla selalu dibayang-bayangi oleh kehadiran mawar putih itu. Siapa gerangan yang sudi mengirim sekuntum bunga mawar kepada anak yatim piatu yang tak terpandang ini? Siapa pula yang tak menuliskan nama hingga merasa dirinya tak perlu diketahui?
Setibanya di depan gerbang rumah, pikiran Mikayla terhenti. Mengapa ia tak membalas budi kepada sang pengirim. Mengapa ia harus pikir panjang, sementara pengirim bunga mawar pastilah berkunjung ke makam ayahnya, meletakkan bunga itu di sana, lalu menghilang. Itu jawabannya. Ia harus ke makam itu lebih awal.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke makam. Ia menggenggam senter di tangannya dan mengarahkan cahaya ke jalanan setapak pekuburan itu. Tak ada rasa takut, rasa  itu  telah diselimuti oleh rasa penasaran yang menggebu. Ia berjalan menuju makam ayahnya, berhasil, belum ada bunga mawar di sana. Fakta bahwa belum satu orang pun yang menginjakkan kaki di makam sepagi itu. Agar tidak membatalkan niat sang pengirim mawar, Mikayla duduk di kursi panjang, tak jauh dari makam ayahnya. Sambil menunggu, ia mengeluarkan mawar ungu dari dalam tasnya dan sepucuk surat untuk sang pengirim. Sambil tersenyum, ia terus menunggu. Fajar pun terbit, ia masih menunggu.
Mentari bergerak dengan cepat, hari sudah hampir sore. Berkali-kali ia melihat ke makam ayahnya, ke sekitar, tapi hasilnya nihil. Sudah putuslah harapan Mikayla, si pengirin tak kunjung datang, mawar di pangkuannya sudah mulai layu, semangatnya telah pudar.
Tiba-tiba saja terdengar suara tapak kaki yang semakin lama semakin dekat, semakin jelas, suara yang untuk pertama kalinya membuat Mikayla takut. Semakin dekat.. semakin dekat... Gerombolan berbaju hitam pun terlihat, di arak-arakan depan terlihat enam orang sedang menggotong keranda ke arahnya, Mikayla menepi, memberi ruang untuk mereka. Ada rasa khawatir dalam benaknya. Setiap detak jantungnya diiringi kilasan rasa ketakutan. Ia melihat lebih dekat, mengikuti tiap langkah mereka berjalan. Suara alas kaki yang tergesa-gesa, bergesekan dengan rumput keras yang kering menghasilkan melodi alam yang indah. Mereka hanya orang biasa, kekhawatiran Mikayla meredup. Ia mengikuti kemana arah gerombolan ini berjalan.
Gerombolan berbaju hitam itu berhenti di sebuah pemakaman yang tak asing bagi Mikayla, makam ayahnya. Sedari tadi ternyata Mikayla tidak memperhatikan, ternyata ada sebuah lubang persegi panjang terletak di sebelah makam ayahnya. Rasa keingintahuannya membara, dengan sabar dan hati-hati, ia terus mengikuti proses pemakaman yang berlangsung.
Tak lama kemudian, kerumunan mulai bubar. Tak ada satu pun dari mereka yang terisak, menangis. Sepertinya dia adalah orang yang tidak diharapkan, orang ini. Sampai akhirnya, hanya Mikayla-lah yang tersisa. Ia mendekat, mencoba menggapai batu nisan indah yang masih rapuh di makam baru itu. Ia ingin mengenali sosok yang terkubur dalam gundukan tanah merah kering. Ia tercengang, di atas batu nisan itu tertulis.

Di sini terukir kata hati
Dari sang pengirim Mawar Putih
untuk
     Mikayla tersayang
Tetaplah tersenyum di saat hidup
 mencabikmu dengan keras 
Aroma mawar putih yang sama
Rasa yang sama
Tangan menulis di atas kertas seputih salju

Mikayla tertegun, ia membaca tulisan di atas nisan itu berkali-kali. Ia merasa kesal pada dirinya, kepalanya panas, ia tak dapat mencerna kalimat yang terukir yang di sana. Yang ia tahu hanya namanya terukir indah di sana, apakah ia yang dimaksud, apakah ada orang lain di sekitar sini yang bernama sama dengannya.
Sepasang tangan kaku mengelus pundaknya. Suara parau yang pernah dikenalnya berkata dengan lirih, “Dia Susanto, kakakmu sendiri Mikayla, ia tak sempat bertemu kamu karena ayahmu. Ayahmu tak pernah mengizinkan Susanto tinggal dengan mu,” sosok itu duduk, ia menatap Mikayla dengan tatapan yang berbeda, tatapan yang untuk pertama kalinya membuat Mikayla merasa sejuk. Ia adalah penjaga kuburan yang pernah Mikayla temui, “ia tak pernah mengakui Susanto sebagai anaknya. Susanto memang bukan anaknya, tapi Susanto adalah saudara tirimu, Mikayla. Ayahmu tidak menerimanya karena ia berbeda, Susanto terkena leukimia-“ penjaga kuburan itu terisak “-saya yang merawatnya setelah ibumu meninggal”
“Lalu kenapa anda berbohong?” Mikayla mulai lagi, emosinya memuncak. Amarahnya membara, “Kenapa anda berbohong pada saya saat saya menanyakan anda yang sebenarnya? Apa yang terjadi?” nada bicara Mikayla meninggi ia tak habis pikir semuanya akan jadi begini.
“Dengar, Mikayla. Saya tidak bermaksud membohongi kamu. Itu semua keinginan Susanto, apa yang saya lakukan adalah pilihan. Dan pilihan itu adalah permintaan Susanto yang terakhir, maaf Mikayla, saya tidak bermaksud untuk melakukan itu” intonasi bicaranya menjadi penuh sesal, matanya berair, “ia menitipkanmu ini” penjaga kuburan itu menyerahkan sepucuk surat dan sekuntum bunga mawar putih.
Mikayla membacanya, tangisnya meledak. Orang ini adalah kakaknya. Tulisan  di atas nisan ini untuknya. Dan mawar ini adalah mawar terakhir yang dapat diberikan kakaknya, untuknya.

***